Tuesday, February 24, 2015

Dialog Sufi 2 – Kisah Abu Bakar Digigit Ular

Nabi Muhammad berjalan. Sayidina Abu Bakar mengikuti. Ketika akan sampai, 8 km dari arah Masjidil Haram, baru Sayidina Abu Bakar sadar. "Ooo … Mau istirahat ke Gua Tsur, karena sudah mendekati Gunung Tsur. Ketika Rasulullah naik, Oooo…kesimpulan Sayidina Abu Bakar.” With no curiousity, tidak dengan rewel, tidak dengan mempertanyakan, memaklumi.
Pertama-tama, dalam Islam yang kita butuhkan bukan`ngerti' syariat, tapi cinta terhadap yang mengajarkannya dan Dzat Maha Suci yang menurunkannya. Tanpa kacamata tersebut, tanpa rasa cinta tersebut, kita tidak akan mengerti Islam. Islam hanya menjadi "The Matter of Transaction", tawar menawar. Itu tidak terjadi pada Abu Bakar. Begitu Rasulullah mau naik ke arah gua, di Jabal Tsur itu, maka kemudian Beliau (Abu Bakar) menarik kesimpulan, "Oooo … Rasulullah mau istirahat di Gua Tsur." Beliau (Abu Bakar) mengerti sebagai orang gurun, tidak akan pernah ada lubang bebatuan di gunung, pasti ada ular berbisanya.


Itu reason, pikiran digunakan sesudah ‘cinta’, sesudah tulus, sesudah bersedia untuk patuh. Itu namanya pikiran yang well enlighted, pikiran yang tercerahkan, bukan pikiran yang cluthak (tidak senonoh), yang bisa bertingkah macam-macam, menimbulkan problem. Lantas, apa yang kemudian dilakukan Abu Bakar? Beliau kemudian mendekati Rasulullah, kasih aku kesempatan masuk. Rasulullah dan Abu Bakar, interespecting, saling menghargai. Sayidina Abu Bakar masuk gua. Gua itu kecil kalau diisi 3.
Barangkali sudah kruntelan di situ, kayak bako susur yang dijejel-jejelkan (dimasukkan) ke mulut. Sayidina Abu Bakar masuk, beliau cari, bener ada lubang di situ. Beliau buka sandalnya, ditaruhnya kaki kanannya di mulut lubang itu. Dengan cinta, Beliau korbankan kakinya untuk Rasulullah. Beliau tidak mau Rasulullah digigit ular. Akhirnya kakinya dicatel (digigit) oleh ular. Kemudian Beliau bilang, “Silakan masuk Rasulullah dengan penuh cinta, dengan penuh pengorbanan dan husnudzon.” Rasul masuk dan berbaring dipaha Abu Bakar. Rupanya Rasulullah terkena angin sepoi-sepoi pagi. Beliau tertidur. Ketika Beliau tertidur, ketika itu pulalah Abu Bakar menahan bisa dari ular yang sudah mulai menjalar ke seluruh tubuh.
Abu Bakar berkeringat, dan diriwiyatkan bahwa keringatnya sudah berisi darah. Tetesan keringat Abu Bakar mengenai Rasulullah. Bagaimana respon Rasulullah, Syaikh? "Nangis Sampean?” tanya Rasulullah. "Tidak,” jawab Abu Bakar, “kakiku digigit ular." There was something happen. Ditariknya kaki Abu Bakar dari lubang itu, maka kemudian Rasulullah berkata pada ular. " Hai Tahu nggak Kamu? Jangankan daging, atau kulit Abu Bakar, rambut Abu Bakar pun haram Kamu makan?" Dialog Rasulullah dengan Ular itu didengar pula oleh Abu Bakar as-Shidiq, berkat mukjizat Beliau. "Ya aku ngerti Kamu, bahkan sejak ribuan tahun yang lalu ketika Allah mengatakan ‘Barangsiapa memandang kekasih-Ku, Muhammad, fi ainil mahabbah atau dengan mata kecintaan. Aku anggap cukup untuk menggelar dia ke surga,” kata ular. “Ya Rabb, beri aku kesempatan yang begitu cemerlang dan indah. “Aku (ular) ingin memandang wajah kekasih-Mu fi ainal mahabbah,” lanjut ular. Apa kata Allah? "Silakan pergi ke Jabal Tsur, tunggu disana, kekasihKu akan datang pada waktunya,’ jawab Allah. “Ribuan tahun aku menunggu disini.
Aku digodok oleh kerinduan untuk jumpa Engkau, Muhammad. Tapi sekarang ditutup oleh kaki Abu Bakar, maka kugigitlah dia. Aku tidak ada urusan dengan Abu Bakar, aku ingin ketemu Engkau, Wahai Muhammad. " Apa pesan dari cerita Sayidina Abu Bakar, Syaikh? Rasa cinta Abu Bakar As-Shiddiq pelajaran yang sangat essential, bukan textual. Cerita tentang Islam seperti terdeskripsi dalam Al-Qur'an, dalam hadits, tidak dapat kita tangkap muatan sebenarnya yang ada di dalamnya bila tidak dengan hati, with no sense, with no heart. Gaya hidup di dada Abu Bakar dalam bercinta, dalam berkerendahan hati, dalam berketulusan, dalam berkesediaan untuk patuh, dan untuk membuat pengkhidmatan, itu adalah rukun Islam yang tidak tertulis. Semua ini adalah muatan di dalam kehidupan Rasulullah.
Lihatlah kehidupan sekarang. Aku dan kamu setiap hari secara mauqut diberikan kesempatan untuk mengucapkan "Assalamu'alaika ya ayyuhan nabiyyu warahmatullah". Tapi with no sense, with no heart, belum sempat Rasulullah kita pindahkan ke perasaan, ke hati kita, belum sempat akhirat kita hadirkan ke dalam rasa kita Bagaimana aku dan kamu bisa menjadi `abid, bagaimana aku dan kamu menjadi shakir, bagaimana aku dan kamu menjadi muttaqiin dan seterusnya dan seterusnya. Itulah persoalan kita. Maha mulia Allah yang memberi kita rahmat dan taufiq, supaya kita semuanya berkhidmad. Saya semakin paham maksud Syaikh. Thariqat adalah tentang azimah keterkaitan dengan Rasulullah. Terangkanlah lebih luas lagi kepadaku tentang hal ini agar kepala dan hati kami menjadi terang? Azimah adalah lawan kata dari ruskhsah, yaitu keringanan, selanjutnya yang enteng, kemudian dalam praktek bias jadi perilaku atau suasana hati yang ngentengin. Ini salah kaprah dalam ibadah. Bisakah tukmaninah dan khusuk dalam bobot enteng-enteng saja, cuma sekilas sambil lalu? Di situ ada nada yang hilang dan menguap; sejenis kesungguhan, ikhlas, istiqamah, ihsan, hudlur, getar hati. Ini bisa didapatnya melalui thariqat.
Nah Rasulullah adalah mainstream kehadiran kita terhadap kehadiran Allah, dalam aneka perspektif yang ada, akhlak, aqidah, syariat, ibadah, sastra. Bukan Al-Quran hadits sendiri. Kemasannya musti azimah, jangan sampai cuma suplemen, asesoris, cuma seremoni apalagi dikontroversikan sebagai bidah, perlu rumusan paradigm yang benar-benar akurat. Di sini pentingya istighfar di thariqat: min kulli ma yukholiful azimah. Jadi saat ini pun, kita semestinya senantiasa menjaga pertalian ruhani dan batin terhadap Rasulullah agar mendapatkan rahmat Allah. Ya Yasir, berangkat dari aturan dalam tahiyat shalat, kita diniscayakan untuk direct communication dengan beliau, apakah telah cukup kadar esoteric dan kesungguhan dalam bersalaman kepada beliau? Di tharikat ini justru dijadikan urat nadi ibadah kita, bahkan hidup kita pada dasarnya dan secara menyeluruh bertumpu pada Rasulullah. Ini merujuk pada hadis Qudsi. Hadits pertama, Ya Muhammad Aku berkenan untuk mencipta manusia, walau mereka suka seenak sendiri, Aku menjadikan mereka pilihan-Ku karena itu mereka Kuserahkan dan Kutitipkan kepadamu Muhammad, sentuhlah qalbu mereka olehmu agar tak ngaco-ngaco banget, kembalikan mereka kelak pada-Ku di akherat dalam keadaan fitri sebagaimana ketika Kuserahkan padamu”. Hadis Qudsi kedua.
Suatu ketika Rasulullah memampak sosok yang tak beliau kenali, padahal beliau paham semua orang, maka sabda beliau: “Siapa kamu?” “Aku Iblis” tukas orang asing itu. “Lho kok ngaku biasanya kan kamu menipu?” Tanya Rasulullah. “Aku diperintah Allah untuk datang kepadamu dan menjawab secara benar”. “Ooo.. “siapa yang paling tak kamu sukai?” tanya Nabi. “Kamu,” jawab iblis tegas. “Kenapa,” tanya Rasulullah. “Orang yang bersama Kamu tak dapat kugoda,” jawab iblis. Banyak orang sulit memahami ini karena menganggap Rasulullah sudah mati, Syaikh? Yang mati kita, bukan Rasulullah. Sumber: www.nu.or.id 

0 comments :

Post a Comment